Setelah 39 minggu mengandung, akhirnya si kecil tiba juga dalam kehidupan Anda.
Semua orang ikut berbahagia dan Anda pun dituntut untuk terlihat bahagia sebagai
ibu baru bagi sang bayi imut yang tidak berdaya. Tetapi mengapa Anda justru
merasa sedih dan bingung? Jika si kecil menangis, Anda tidak merasa ingin
melindungi dan membuatnya nyaman justru turut menangis dan merasa tidak
berdaya. Rasa bersalah juga kerap datang, merasa Anda bukan orang tua yang baik
dan tidak becus dalam mengurus anak.
Baby Blues
Merasa kenal dengan skenario di atas? Mungkin yang Anda alami adalah baby blues
pasca melahirkan. Ibu yang baru melahirkan bisa merasakan perubahan mood yang
cepat dan berganti-ganti (mood swing), kesedihan, suka menangis, hilang nafsu
makan, gangguan tidur, mudah tersinggung, cepat lelah, cemas dan merasa
kesepian. Baby blues dapat terjadi segera setelah kelahiran, tetapi biasanya akan
berlalu dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.
Gejalanya juga tidak terlalu berat dan bisa diatasi dengan meminta pengertian dari
pasangan untuk menemani di masa-masa sulit atau meminta bantuan dari pihak
keluarga atau sahabat untuk menemani dan menghibur sang ibu yang sedang
mengalami baby blues.
Kalau mungkin, cara yang lebih baik untuk melewati masa ini adalah mengobrol
dengan sesama ibu (baru atau lama) dan melakukan terapi kelompok informal
sehingga si ibu tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi masalahnya. Setelah
baby blues berlalu, Anda bisa merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu.
Tetapi waspadai segera jika perasaan-perasaan negatif tidak juga hilang, malah
semakin parah. Penelitian menyebutkan bahwa sekitar 10 sampai 20 persen wanita
mengalami depresi setelah melahirkan. Depresi pasca melahirkan ini selain dapat
membuat penderitaan batin untuk si ibu, dapat juga merenggangkan hubungan
dengan pasangan dan bisa menyebabkan menurunnya fungsi sosial dan kualitas
hidup si ibu. Bahkan penelitian terbaru menunjukkan kalau ibu yang depresi bisa
menyebabkan gangguan emosional dan kognitif pada bayinya yang baru lahir.
Depresi Pasca Melahirkan
Depresi pasca melahirkan tidak selalu terjadi segera setelah melahirkan, dapat
terjadi kapan saja dalam waktu setahun setelah melahirkan. Namun lebih sering
terjadi satu bulan setelah melahirkan. Perbedaan paling mencolok antara baby blues
dan depresi pasca melahirkan adalah pasien dengan depresi akan mengalami
gangguan lebih lama dan memerlukan pengobatan segera. Tanda dan gejalanya pun
lebih berat daripada baby blues.
Gejala dan tanda yang timbul pada depresi pasca melahirkan sama dengan gejala
depresi umum; mood yang depresif, kehilangan minat dan rasa senang, aktifitas
motorik yang menurun, kehilangan atau penambahan berat badan yang sangat
terlihat tanpa diet, insomnia atau malah banyak tidur, merasa lelah setiap hari,
perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan, sulit
berkonsentrasi, pemikiran tentang kematian bahkan munculnya ide bunuh diri.
Pada satu penelitian di Hongkong pada wanita-wanita berdarah Asia, gejala yang
paling sering muncul adalah mood yang depresif, mudah menangis, kehilangan
minat dan kesenangan, menarik diri secara sosial, insomnia, kehilangan nafsu
makan, kurang konsentrasi, perasaan tidak berguna dan tak berdaya. Sering juga
dialami oleh pasien depresi pasca melahirkan rasa sakit fisik seperti sakit kepala atau
nyeri di punggung. Muncul ide menyakiti diri atau bahkan bunuh diri memang
muncul pada 15 persen responden, tetapi jarang terjadi pelaksanaan dari ide ini.
Penyebab Depresi Pasca Melahirkan
Telah banyak penelitian yang mencoba mencari faktor yang bisa menyebabkan
depresi pasca melahirkan. Beberapa di antaranya adalah:
• Depresi selama kehamilan
• Rasa rendah diri
• Stress dalam mengurus anak-anak
• Kecemasan sebelum melahirkan
• Hidup yang penuh tekanan
• Dukungan sosial rendah
• Kehidupan perkawinan kurang baik
• Riwayat depresi sebelumnya
• Bayi rewel atau bermasalah
• Baby blues
• Tingkat ekonomi yang rendah
• Kehamilan yang tidak direncanakan
Faktor-faktor di atas telah terbukti memiliki hubungan dengan depresi pasca
melahirkan. Contohnya, tingginya angka depresi sebelum melahirkan berhubungan
dengan tingginya angka depresi sesudah melahirkan, begitu juga sebaliknya. Tetapi
hubungan ini tidak selalu berarti bahwa depresi sebelum melahirkan dapat
menyebabkan depresi pasca melahirkan. Tetapi ada beberapa faktor yang hampir
selalu menyebabkan depresi pasca melahirkan, seperti misalnya, kurangnya
dukungan sosial.
Meskipun banyak pendapat menyatakan bahwa perubahan hormonal pasca
melahirkan dapat menyebabkan depresi pasca melahirkan, tetapi sedikit bukti yang
menunjukkan kedua hal ini berhubungan secara langsung. Beberapa penelitian
bahkan gagal untuk mencari hubungan antara perubahan hormon dan depresi pasca
melahirkan. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa hormon tidak memiliki andil dalam
munculnya depresi pasca melahirkan. Penelitian menunjukkan bahwa ada sebagian
wanita yang sensitif terhadap perubahan hormonal dalam tubuhnya, baik selama
maupun setelah melahirkan.
Mencari Pertolongan
Pada dasarnya perawatan depresi pasca melahirkan sama dengan pasien depresi
pada umumnya; melalu psikoterapi dan farmakoterapi. Kalau depresinya termasuk
ringan, pilihan pertama adalah konseling psikologis dan intervensi sosial sesuai
dengan kebutuhan pasien. Apalagi kalau penyebab depresi tersebut karena tekanan
psikososial dan kurangnya dukungan dari keluarga dan sahabat. Pada kasus depresi
ringan, dengan dukungan dan bantuan seluruh anggota keluarga terhadap sang ibu
dapat memperbaiki gangguannya. Psikoterapi interpersonal juga dapat memperbaiki
hubungan dengan anggota keluarga lain yang pada akhirnya berguna bagi
kesembuhan pasien depresi pasca melahirkan.
Pada kasus yang lebih berat, perawatan dengan antidepresan mungkin diperlukan.
Di masa lalu, penggunaan antidepresan trisiklik sangat luas dalam perawatan depresi
sebelum dan setelah melahirkan. Tetapi saat ini dikenal antidepresan golongan baru
seperti SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) dengan efek samping
penenang yang rendah bisa menjadi pilihan bagi ibu yang tidak menyusui. Dengan
efek samping penenang yang rendah ini memungkinkan ibu menjaga bayinya di
malam hari.
Perhatian ekstra perlu diberikan bagi ibu yang mengalami depresi tetapi tetap ingin
menyusui bayinya. Fluoxetine dianggap aman bagi ibu hamil dan menyusui pada
beberapa penelitian. Walaupun demikian, penggunaan obat antidepresan untuk
pasien depresi pasca melahirkan tetap harus dipertimbangkan matang-matang
untung dan ruginya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengobatan secara
psikologis sama efektifnya dengan farmakoterapi. Konsultasikan lebih lanjut kepada
dokter Anda untuk perawatan yang paling cocok untuk Anda.
Jumat, 25 April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)